Pada tahun 2008 Taufiq Ismail menyampaikan makalahnya yang berjudul "Generasi Nol Buku: Yang Rabun Membaca, Pincang Mengarang". Hal ini didasari oleh penelitian yang dilakukan oleh Taufik Ismail mengenai budaya membaca masyarakat Indonesia. Menurut penelitian yang dilakukan olehnya budaya membaca pelajar Indonesia jika dibandingkan dengan pelajar setingkat SMA di beberapa negara sangatlah jauh berbeda. Dari serangkaian pertanyaan yang diberikan Taufik Ismail ditemukan bahwa di Indonesia tidak ada kewajiban membaca buku, tidak ada bimbingan menulis, dan tidak ada ujian dari hasi tulisan mereka. Ketika kita disajikan data-data yang membandingkan sistem pembelajaran dengan negara lain tentu akan membuat kita tercengang. Di Amerika serikat jumlah buku yang harus dibaca siswa SMA-nya adalah 32 buku per tahun, Belanda dan Perancis 30 buku per tahun, Jepang 15 buku per tahun, Malaysia 6 buku per tahun, sedangkan Indonesia 0 buku per tahun. Melihat data tersebut pantaslah apabila banyak generasi, bahkan generasi sekarang mendapatkan julukan Generasi Nol Buku. Di negara-negara tersebut juga mewajibkan siswanya untuk membuat tulisan, di Amerika Serikat siswa wajib menulis 44 halaman per pekan, itu sama artinya dengan 1.584 halaman dalam satu tahun. Tentunya ini menjadi sangat jauh berbeda saat kita melihat Indonesia, pelajar Indonesia tidak ada kewajiban menulis. Pantaslah jika di era sekarang banyak orang yang bosan untuk membaca dan gagap saat diminta untuk menulis, pada akhirnya lahirlah generasi yang rabun membaca dan pincang mengarang.
Sistim pendidikan Indonesia pernah memiliki kurikulum yang mewajibkan pelajar untuk wajib membaca dan mengarang. Pada masa penjajahan Belanda pemuda Indonesia yang belajar di AMS diwajibkan membaca 25 buku dan mengarang 108 judul. Tradisi tersebut berakhir semenjak tahun 1950, dimana di tahun tersebut bangsa Indonesia sedang mengejar ketertinggalan di bidang pembangunan infrastruktur jalan, ekonomi, kesehatan, farmasi, dan sejenisnya.
Penelitian Taufik Ismail tersebut diaminkan oleh hasil survey yang dilakukan oleh sebuah perguruan tinggi di Amerika Serikat yang disampaikan oleh Direktur Pembinaan Pendidikan Keaksaraan dan Kesetaraan Kementrian Pendidikan pada April 2016 lalu. Menurut hasil survey tersebut, Indonesia menempati urutan ke-60 dari 61 negara. Budaya membaca masyarakat Indonesia sangat tertinggal jauh, Indonesia setingkat lebih tinggi dari negara Botswana, sebuah negara miskin di Afrika. Hasil sensus yang dilakukan BPS pada tahun 2006 juga menunjukkan hal yang serupa, 85,9% masyarakat Indonesia memilih menonton TV daripada mendengarkan radio (40,3%) dan membaca koran (23,5%). Data statsistik dari UNESCO juga semakin menguatkan betapa bangsa kita telah menjadi generasi nol buku. Pada tahun 2012 UNESCO melansir indeks minat baca di Indonesia hanya 0,0001. Hal tersebut menunjukkan bahwa setiap 1.000 penduduk hanya satu orang yang memiliki minat baca.
Melihat kondisi tersebut seharusnya Pemerintah menjadi lebih peka dan lebih terbuka, tidak terkecuali pemerintah daerah. Mata rantai generasi nol buku ini harus segera kita putus. Apabila hal ini selalu dipelihara, kedepannya kita akan kehilangan penulis pada bidangnya masing-masing. Karena pada dasarnya kemampuan menulis bukan hanya harus dimiliki oleh seorang sastrawan saja, pada bidang apapun tetap dibutuhkan seorang penulis agar gagasan yang dimilikinya dapat diketahui khalayak umum. Kemajuan bangsa Indonesia, keindahan alam, kekayaan budaya, dan catatan sejarah tidak akan pernah diketahui generasi setelah kita atau orang di luar sana apabila tidak ada penulis yang menuangkannya.
Peran dari Perpustakaan Daerah menjadi sangat penting dalam pemutusan mata rantai ini. Kerjasama antara Perpusda dan Dinas Pendidikan dapat menjadi jawaban dalam memberantas generasi nol buku. Misalnya: (1) Perpusda melakukan kerjasama dengan Dinas Pendidikan untuk menjadwalkan kunjungan ke sekolah-sekolah. Kemudian setiap siswa diwajibkan membaca buku lalu diminta untuk menuliskan hasil apa yang dibaca kedalam 300 kata (minimal); (2) Secara mengadakan lomba resensi buku, dalam hal ini setiap siswa diwajibkan mebuat resensi dan pihak sekolah melalui guru bahasa Indonesia menyeleksi hasil resensi siswa; (3) Membuka perpustakaan on line, sebagaimana kita ketahui mudahnya jaringan internet didapatkan menjadikan kita lebih suka membaca di internet daripada sumber bukunya langsung. Melihat fenomena ini dapat dimanfaatkan oleh Pemerintah Daerah untuk membuka perpustakaan online dimana masyarakat umum dan siswa pada khususnya dapat membaca buku melalui internet; (4) Membuat sebuah kampanye untuk lebih mencintai buku dengan slogan yang menarik. Hal ini sebagai bentuk dukungan Gerakan Indonesia Membaca yang telah dicanangkan oleh Kementrian Pendidikan. Generasi Nol Buku: Yang Rabun Membacan dan Pincang Mengarang, dapat dijadikan bahan dalam penyusunan kebijakan dan program yang akan dilakukan pemerintah daerah. Sehingga kedepannya bukan hanya pembangunan fisik saja yang dilakukan tetapi pembangunan manusia juga diperhatikan.
Dari Berbagai Sumber. (Tan/Sos)