Dusun Karanganyar merupakan salah satu dari 7 (tujuh) dusun yang berada di wilayah Desa Tegowanuh Kecamatan Kaloran Kabupaten Temanggung. Berdasarkan hasil dari penggalian gagasan Pemerintah Desa Tegowanuh dan penyusunan dokumen masterplan Desa Tegowanuh, terdapat suatu keunikan kegiatan kearifan local peninggalan jaman hindu yang berlangsung turun-temurun dan berkembang dijaman peradaban Islam hingga kini masih kita jumpai kegiatan tersebut di setiap tahunnya yaitu pada hari Senin Legi setelah usai tanam padi, masyarakat Desa Tegowanuh mengenal kegiatan tersebut dengan nama entas-entas.
Entas-entas merupakan salah satu rangkaian kegiatan ritual dalam proses kegiatan pertanian di Dusun Karanganyar yang meliputi Nyemplung, Entas-entas, dan Wiwit. Rangkaian kegiatan tersebut masih lestari hingga sekarang walupun hampir hilang tertelan pengaruh modernisasi.
Nyemplung; kegiatan ini merupakan ritual dimana para petani mau memulai menggarap sawah dengan diawali doa bersama dan genduri oleh warga dusun Karanganyar.
Entas-entas; kegitan ini merupakan ritual setelah para petani menyelesaiakan tanam padi dengan acara doa bersama genduri palawija dan makanan khas kuliner entho-entho yang dilanjutkan dengan pentas seni kearifan local.
Wiwit; kegiatan ini merupakan ritual sewaktu mau memulai panen wadi dengan agenda doa syukur bersama dengan genduri nasi megono.
Dari ketiga kegiatan tersebut diatas entas-entas merupakan kegiatan yang unik, menarik dan memuat kearifan local yang bisa diangkat menjadi suatu kekayaan budaya yang dapat diangkat menjadi salah satu kekakyan budaya Temanggung, dimana dalam kegiatan tersebut jamuan yang disajikan berasal dari aneka hasil bumi terdiri dari umbi-umbian, kacang-kacangan, dan entho-entho yang tidak dijumpai di Desa lain di Kabupaten Temanggung selain di Dusun Karanganyar Desa Tegowanuh karena entho-entho yang dibuat bahan bakunya berbeda dengan bahan entho-entho yang dikenal di Temanggung , dimana setiap warga Dusun Karanganyar membuat sajian entho-entho yang terbuat dari bahan tepung jagung, tepung beras ketan dan kelapa.
Dari hasil Study kegiatan Entas-entas akan menjadi even yang sangat menarik dan menjadi sumber ekonomi bagi masyarakat, apabila kegiatan tersebut dikelola, di kemas / dibranding menjadi suatu festival Budaya Gerebeg Entas-entas, dimana secara Historis mempunyai sejarah yang berlangsung secara turun temurun, sajian jamuan masih murni hasil bumi, Palawija (Ketela, Suweg, Uwi, Suda, Gembili), Biji-bijian, dan Entho-entho yang tidak ada duanya.
Entas-Entas berasal dari kata ?entas?(dalam Bahasa Jawa), yang berarti ?mengangkat? dalam Bahasa Indonesia. Kegiatan entas-entas dilakukan untuk mensucikan diri/menghilangkan kotoran (ngilangi rereged sukere), sebagai wujud permohonan pengampunan maaf atas segala perbuatan salah yang disengaja maupun tidak di sengaja selama melakukan proses pengolahan sawah hingga selesai tanam padi dimana selama proses menggarap sawah tentunya melakukan nginjak, nyampar, nyandung mahluk yang terlihat maupun tidak terlihat, sesama keluarga, tetangga, masyarakat dilingkungan setempat maupun masyarakat luar, sekaligus berdoa bersama memohon kepada penguasa pemberi rezeki agar tanamannya diberikan pertumbuhan yang sehat dan berbuah lebat dengan hasil melimpah, sehingga dapat mencukupi kesejahteraan keluarga.
Kegiatan ritual entas-entas yang dilaksanakan diakhir-akhir tahun ini secara esensi kekhasan culture hampir-hampir saja hilang terbawa arus modernisasi, terutama dalam bentuk sajiannya tidaklah selengkap dulu, baik dalam bentuk sajian aneka palawija-nya, acara upacara yang juga tidak selengkap dulu, dimana tempo dulu dalam ritual entas-entas, para petani diwaktu pagi-pagi memandikan piaraan ternak sapinya yang selama ini untuk membantu menggarap sawah dibawa kesungai secara bersama-sama, kemuadian setelah selesai sapi-sapi di hias dengan dikalungkan ketupat dan diarak keliling kampung dan siapapun yang mengambil ketupat diperbolehkan.
Setelah selesai keliling kampung para warga kumpul disuatu tempat yang luas dengan menggelar berbagai macam makanan berupa tumpeng / ambeng, hasil bumi (palawija) dan makanan khas entho-entho, dilanjutkan dengan doa bersama dipimpin oleh seseorang tetua kampung, dengan acara penutup ramah tamah dengan disajikan hidangan ketupat santen dan pentas seni tradisi.
Ambeng merupakan tiruan dari bentuk alam dan seisinya yang merupakan gambaran masyarakat Dusun Karanganyar, tentang hubungan manusia de-ngan penciptanya untuk mewujudkan ke-hidupan harmonis demi keselarasan hidup manusia. Nasi diletakkan di atas tampah dibentuk gunung, dianalogikan sebgai jagad kecil tempat tinggal manusia. Hubungan manusia dengan penciptanya sangat pen-ting karena berkenaan dengan tujuan hidup manusia yaitu untuk mencapai penyatuan antara hamba dengan Tuhan (Manunggaling Kawula Gusti). Untuk hal itu, hubungan tersebut selalu dijaga agar se-nantiasa tercipta hubungan harmonis demi keselarasan hidup manusia. Lauk pauk yang ada di sekitarnya ini dianalogikan se-bagai tumbuh-tumbuhan, dan hewan yang hidup di alam. Dimana hewan, tum-buh-tumbuhan dan alam terjalin hubungan saling membutuhkan dan melengkapi. Tanpa tumbuh-tumbuhan dan hewan, alam ti-dak akan bermanfaat, demikian pula hewan dan tumbuh-tumbuhan tidak akan hidup tanpa alam. Orientasi semacam ini akan mengarahkan seseorang kepada ketenteraman dan kebahagiaan dalam hidupnya. Sega ambeng berarti juga menggam-barkan bahwa manusia merupakan makh-luk sosial, manusia hidup dan bergaul dengan sekelilingnya. Dalam kehidupan sosial, perlu tercipta suasana rukun di antara warga karena kerukunan merupakan unsur yang penting dalam kehidupan, sehingga akan mendapatkan keberkahan hidup dari Allah SWT.
Palawija mengandung makna kalau ada yang ke pala (kena sasaran) kapidek, kasampar, kasandung semoga bisa memberikan maaf dan tidak menggangu kepada masyarakat maupun tanaman padinya.